Di antara nikmat terbesar yang Allah SWT berikan kepada umat akhir zaman ini, adalah datangnya Islam melalui Nabi Muhammad SAW, setelah sebelumnya, peradaban manusia selalu pasang-surut dan kembang-kempis, bahkan sejarah mencatat tidak ada istilah kemanusiaan yang menjunjung nilai-nilai akhlakul karimah saat itu.
Tepat pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 M, Rasulullah saw dilahirkan. Kelahirannya membawa rahmat bagi alam semesta. Langit dan bumi sangat bergembira, tanah yang awalnya gersang dan tandus menjadi subur dan makmur, pepohonan yang sebelumnya tidak pernah berbuah, ikut berbuah dengan kegembiraan atas kelahiran umat manusia yang kelak akan menjadi pimpinan para manusia, nabi dan rasul.
Di saat yang bersamaan, Allah menunjukkan kesucian sejati dan memusnahkan simbol-simbol kebatilan. Misalnya, api suci sesembahan orang-orang Majusi di kuil pemujaan di Persia, yang sebelumnya tidak pernah padam, tiba-tiba padam. Barhala-barhala yang koko di Kakbah, Makkah tiba-tiba roboh. Para ahli nujum meramal bahwa mereka akan mendapatkan peringatan datangnya bencana dan siksa.
Tidak terjadi di kota Makkah, peristiwa menggemparkan juga terjadi di kerajaan Romawi, semua patung-patung yang ada dalam Gereja dan Biara tiba-tiba hancur dan runtuh. Demikian, ketika Allah hendak memperlihatkan kebesaran-Nya. Selain itu, istana Kaisar hancur terbelah, sebagaimana para pasukannya tiada menyatu dan terpecah belah.
Demikian sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditampakkan bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, sebagai umat Islam, bulan Rabiul Awal menjadi sebuah hari yang sangat bersejarah dan memiliki histori luar biasa. Hari di mana nabi paling mulia dilahirkan, dan ajaran tauhid kepada Allah SWT yang sebelumnya hilang, kembali disebarluaskan.
Saat ini, semua kisah-kisah heroik itu telah menjadi sejarah dalam Islam. Umat Islam percaya bahwa kelahiran baginda nabi menjadi sebuah tanda ajaran Islam akan terus mengalir dan semakin luas. Hal itu ditandai dengan pesatnya perkembangan Islam sejak dipimpin oleh Rasulullah hingga saat ini. Selain itu, pada bulan yang bersamaan, umat Islam merayakan kelahiran baginda nabi dengan mengingat kelihrannya, yang dikemas dengan pembacaan maulid, syaraful anam, shalawat dan ditutup dengan doa. Kegiatan ini menjadi bukti kecintaan dan kerinduan kepada sang pembawa risalah.
Sebelum menulis lebih jauh dan luas perihal maulid nabi, ada pentingnya bagi penulis untuk menjelaskan sejarah permulaan perayaan maulid dalam Islam. Dengan demikian, kita akan mengetahui sejarah perkembangan dan dimulainya maulid Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Dimulainya Maulid Nabi
Perkembangan Islam terus meluas dan penyebarannya semakin pesat, setelah Rasulullah berhasil melewati berbagai rintangan dan tantangan yang tidak mudah dan perlu kesabaran tinggi. Hal itu ditandai dengan perubahan yang sangat pesat setelah Rasulullah menyebarkan ajaran Islam. Makkah yang sebelumnya menjadi Negara Jahiliyah yang tidak menjunjung nilai-nilai kesopanan dan akhlakul karimah, saat itu kian terkikis dan menjadi kota yang menjadikan akhlakul karimah sebagai spirit beragama.
Syekh Hasan as-Sandubi, sejarawan Islam asal mesir, dalam kitabnya mengatakan, sebelum membahas asal mula munculnya maulid Nabi Muhammad saw secara khusus, ada poin-poin penting yang perlu diketahui, berkenaan dengan pimpinan Islam sejak masa, yaitu masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Islam pada masa awal hingga masa kini,
1. Maulid pada Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah, umat Islam masih fokus perihal perkembangan Islam, membumikan tauhid kepada Allah, dakwah, mengangkat derajad manusia dari yang hina menjadi mulia, dengan menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah, serta ibadah-ibadah lainnya. Sehingga, perayaan-perayaan dalam rangka menghormati kelahiran baginda nabi belum terealisasi saat itu.
2. Maulid pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa selanjutnya, tepanya masa Khulafa’ur Rasyidin, para sahabat belum juga berpikir perihal perayaan maulid Rasulullah yang dikemas dengan kegiatan-kegiatan secara khusus. Mereka terus menanamkan keimanan setelah ditinggal wafat oleh sang pembawa risalah. Banyaknya orang-orang yang awal Islam kembali murtad, menjadi tugas secara khusus bagi para sahabat untuk mengembalikan mereka pada agama yang benar. Selain itu, para sahabat juga melakukan upaya-upaya penyebaran Islam agar semakin pesat dan luas.
Oleh karenanya, tidak ada satu sahabat nabi pun yang berpikir perihal perayaan maulid nabi, serta tidak pernah terbesit dalam hati mereka perayaan-perayaan apa pun. Mereka hanya berpikir perihal perkembangan Islam, sengan terus menerus berdakwah, menjalin interaksi, ikatan dan hubungan antar agama dan pemeluk agama lain.
3. Maulid pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Setelah masa empat khalifah selesai. Muncullah berbagai dinasti sekaligus sebagai simbol kemajuan Islam. Dinasti pertama, yaitu Dinasti Bani Umayyah, di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan, dilanjut oleh putranya, Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Setelah ia wafat, diganti oleh putranya, Yazid II, kemudian dilanjut oleh Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid bin Abdul Malik, hingga Umar bin Abdul Aziz, dan Hisyam bin Abdul Malik. Prode dinasti Umayyah ini, berkuasa sejak tahun 41 H/661 M, sampai tahun 133 H/750 M.
Pada masa ini, perayaan maulid nabi juga belum terealisasikan. Selain memperjuangkan Islam, mereka juga menciptakan asas-asas Negara dengan pelbagai undang-undangnya. Selain itu, hiruk-pikuk politik yang terus memanas, banyaknya pembangkang Islam dan penentang sistem negara, yang dikenal dengan Khowarij, menjadi salah satu perhatian khusus yang tidak bisa mereka tinggalkan, dan mereka biarkan begitu saja. Oleh karenanya, perayaan maulid pada dinasti Bani Umayyah juga belum ditemukan.
4. Maulid pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah
Dinasti Bani Abbasiyah merupakan pemimpin kedua Islam dengan sistem kerajaan, yang berkuasa setelah berhasil merebut tonggak kepemimpinan dari Bani Umayyah dan semua wilayah-wilayahnya. Pada masa ini, perkembangan Islam semakin pesat dan luas, bahkan berhasil menjadikan dunia Islam sebagai pusat peradaban dunia.
Kepemimpinan Dinsati Bani Abbasiyah dimulai pada tahun 133 H/750 M, sampai pada tahun 656 H/1258 M. Hanya saja, kejayaan Islam dan begitu pesat perkembangannya, belum juga ditemukan perayaan maulid dalam rangka mengingat dan menghormati kelahiran baginda Nabi Muhammad saw.
5. Maulid pada Masa Bani Buwaihi
Memasuki abad kesepuluh, kejayaan Dinasti Abbasiyah mulai redup. Saat itu, Dinati Umayyah dipimpin oleh ar-Radhi Billah, yaitu Penguasa Abbasiyah ke-20, yang berkuasa pada tahun 940-944 M. Hanya saja, catur politik dan militer adidaya dari pimpinan dunia Islam itu mulai tidak berdaya.
Pada saat yang bersamaan, wilayah-wilayah yang tergabung di dalam Dinasti Abbasiyah mulai memisahkan diri. Mereka mendirikan dinasti-dinasti kecil. Wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah mulai sempit. Di tengah situasi yang carut-marut itu, sebuah dinasti yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak masuk untuk mengendalikan kekuatan politik dan pemerintahan Abbasiyah. Meski jumlah yang sedikit, namun disertai dengan gerakan sistematis dan massif, dinasti ini mampu menguasai politik dan pemerintahan Abbasiyah selama 110 tahun (945-1055 M), itu bernama Bani Buwaihi. Dinasti ini dibangun oleh tiga putra Abu Syuja’ Buwaihi.
Pada masa kepemimpinannya, gelaran-gelaran acara mulai terlihat, perayaan atas kemenangannya yang mampu menguasai sitem pemerintah Abbasiyah begitu meriah. Selain itu, mereka juga merayakan berbagai perayaan dengan corak gembira dan kesedihan. Misalnya, perayaan hari Asyura’ dijadikan sebagai momentum sebagai bulan duka. Selain itu, perayaan-perayaan yang lain juga mereka gelar, sebagai momentum bahagia. Hanya saja, perayaan yang seharusnya lebih mereka apresiasi, yaitu Maulid Nabi Muhammad, tidak mereka pikirkan. Mereka hanya berpikir perihal kebahagiaan mereka sendiri.
6. Maulid pada Masa Dinasti Fatimiyah
Syekh Hasan as-Sandubi dalam kitabnya kembali menegaskan, bahwa perayaan maulid nabi bertepatan dengan masa Dinasti Fathimiyah. Hanya saja, mereka berafiliasi pada kelompok Syiah. Teolog dan keyakinannya cenderung pada kepemimpinan Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, serta menolak khalifah Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Sebagaimana teologi Syiah, mereka tidak hanya merayakan maulid Nabi Muhammad, perayaan-perayaan lainnya juga tidak mereka lupakan. Misalnya, perayaan hari Asyura, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimiyah, perayaan tahun baru Persia, idhul adha, malam pertama Ramadhan, Rajab dan Sya’ban. Syekh Hasan menegaskan,
لَقَدْ دَلَّنِي البَحْثُ عَلَى أَنَّ الْفَاطِمِيِّيْنَ هُمْ أَوَّلُ مَنْ اِبْتَدَعَ فِكْرَةَ الْاِحْتِفَالِ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِي
Artinya, “Sungguh telah menjadi penunjuk kepadaku, pembahasan (di atas), bahwa sungguh Dinasti Bani Fatimah merupakan kelompok pertama yang merealisasikan gagasan perayaan untuk mengingat kelahiran Nabi Muhammad.” (Hasan as-Sundawi, Tarikhul Ihtifal bil Maulidin Nabawi, [Matba’ah al-Istiqamah, cetakan pertama: 1980], halaman 60-65).
Perayaan ini terus berlanjut dan semakin pesat, sampai kemudian Dinasti Fatimiyah runtuh dan dipimpin oleh ulama-ulama dan kerajaan yang berafiliasi pada teolog Ahlussunnah wal Jammah, perayaan maulid Nabi Muhammad tetap berlanjut, dan pertama kalinya diperingati oleh Sultan Nuruddin, penguasa Siria, pada tahun 511 H. Hanya saja, bentuk perayaan ini tidak sama dengan perayaan yang dilakukan oleh kelompok Syiah.
Menurut Syekh Bukhit al-Muthi’i (wafat 1345 H), perayaan maulid yang dilakukan oleh Sultan Nuruddin hanya menghususkan kepada perayaan Nabi Muhammad saja, tidak mencampur dengan perayaan-perayaan lain yang menimbulkan mafsadah dan keharaman dalam Islam, sebagaimana perayaan-perayaan Syiah yang telah disebutkan di atas. (Hasan as-Sundawi, Irsyadu Ahlil Millah ila Itsbatil Ahillah, [Mesir, Darul Mishriyah, cetakan ketiga: 2005], halaman 40).
Peringatan maulid nabi akhirnya berkembang luas dan sangat pesat. Bahkan hampir mayoritas umat Islam merayakannya, khsusnya di Indonesia. Perayaan maulid tidak hanya dilakukan oleh instansi dan lembaga-lembaga. Bahkan, setiap warga mulai dari kota hingga pelosok desa turut merayakannya. (Sunnatullah)

